Kisah Masa Lampau Pulau Bantimurung salah satu Pulau Yang Ditukar

Kisah Masa Lampau Pulau  Bantimurung


Baru setahun menjabat gubernur Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Makassar, Joan Gideon Loten (1710-1789) melancong ke Maros. Pada Agustus 1745 itu, ia bersama keluarganya menyempatkan tetirah di air terjun Bantimurung. Lima tahun kemudian, pada September 1750, Loten mengunjungi Bantimurung untuk terakhir kalinya. Kali ini, ia bersama Jean Michel Aubert (1717-1762) sang juru gambar dan surveyor VOC.

Begitu pula naturalis Inggris Thomas Pennant (1726-1798) yang mengagumi keindahan Bantimurung. "Air terjun Pulau Sulawesi itu terkenal karena pemandangan yang menakjubkan," katanya setelah melihat ilustrasi Loten pada 1771. Beberapa gambar lain yang dikaitkan dengan Loten adalah ilustrasi Bulu Sipong dan Leang Lambatorang.

Pada abad ke-17, menggambar adalah cara penjelajah dan naturalis untuk mencatat pengamatan mereka. Menggambar adalah cara mudah untuk mempertahankan ingatan visual tentang situasi, lanskap, artefak, hewan, dan tumbuhan dari tempat-tempat yang jauh.
Perempuan penjelajah pertama Eropa dari Austria, Ida Pfeiffer (1797-1858), juga pernah menjejakkan kaki di Maros sekitar Maret 1853. Perempuan ini mengungkapkan kekagumannya dalam A Lady's Second Journey Round The World. "Bukitbatu Bulu Sipong yang memiliki gua ini berdiri seperti terpencil di dataran yang indah seolah jatuh dari surga. Atap gua dengan stalaktit yang tidak beraturan. Banyak batu dengan berbagai bentuk. Ini sangat cantik," tutur dia dalam buku yang terbit 1856 itu.

Lima tahun kemudian, catatan Pfeiffer dan laporan Willem Leendert Mesman menuntun naturalis Inggris Alfred Russel Wallace (1823-1913) mengeksplorasi Maros. Selama di Maros pada Agustus sampai November 1857, Wallace tinggal di Amasanga, atau Tompokbalang. David Jacob Matthijs Mesman, kakak W. L. Mesman, membantu segala kebutuhan Wallace.

Pada 19 September, bersama pemandu dan pembantunya, ia berkuda menuju air terjun Bantimurung. Diaterkesan dengan melimpahnya kupu-kupu di wilayah ini.

"Ketika matahari bersinar terik, bantaran sungai yang lembap di atas air terjun menghadirkan pemandangan indah, dengan kilauan sekumpulan kupu-kupu jingga, kuning, putih, biru, dan hijau. Ketika diganggu, ratusan  kupu-kupu beterbangan di udara membentuk awan yang berwarna-warni," ungkap Wallace.

"Ngarai, jurang, dan tebing berlimpah. Aku tidak melihatnya di tempat lain di Nusantara. Permukaan miring hampir tidak dapat ditemukan di mana saja, dinding besar dan massa kasar batu mengakhiri semua gunung dan melingkungi lembah. Di banyak bagian, ada tebing vertikal atau bahkan menjorok lima atau enam ratus meter tingginya, namun dibungkus rapat dengan permadani vegetasi," tambahnya. Wallace tinggal di air terjun Bantimurung sampai 22 September.

Wallace mengisahkan pengembaraannya di Nusantara dalam The Malay Archipelago pada 1869. Dari penjelajahan di Nusantara, Wallace menerbitkan risalah singkat tentang teori seleksi alam, dan membuat garis maya yang kelak disebut Garis Wallace. Garis inilah yang memikat banyak penjelajah berkunjung ke Nusantara. Dan hal itu membuat Maros dan air terjun Bantimurung seakan-akan menjadi tempat yang wajib dikunjungi penjelajah.

Salah satu yang terpikat adalah penjelajah Inggris Prancis Henry Hill Guillemard (1852-1933). Setelah membaca catatan Wallace, ia tertarik bertandang ke Bantimurung pada Agustus 1883. Namun harapannya untuk bertemu dengan kupu-kupu ekor burung layang-layang besar (Papilio androcles) sia-sia. Saat itu, kupu-kupu sebenarnya luar biasa banyaknya.

"Air terjun seperti salju putih mengalir terus-menerus di dinding batu di musim panas. Masih ada banyak air terjun, yang jauh lebih tinggi atau melebihi air terjun Bantimurung. Tetapi, lingkungan yang indah, alami, pantas dikagumi, membuat kami lebih dalam merenungi alam. Bukit batu yang menjulang tinggi di sisi air terjun yang berkilau dan tidak ada ujung akar dari pohon besar atau kecil tertancap ke tanah sungguh luar biasa."

"Pemandangan yang mirip bangunan gotik dan telah berhasil menciptakan alam yang indah. Air terjun ini tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi, tampak megah, mengairahkan mata orang yang melihat alirannya yang abadi. Air meluncur jernih dan tipis di atas dinding batu berwarna gelap mengkristal, buih, dan percikan putih memberikan keanggungan," kesan seorang pendidik Belanda H. W. Bosman kala ke air terjun Bantimurung pada 1885.

Putri raja Prancis Duchess of Aosta (1871-1951) juga seorang penjelajah, pemburu, penulis, dan fotografer yang berkeliling dunia sepanjang 1913-1914. Dalam pengembaraannya, Bantimurung dan bersua dengan Ratu Tanete termasuk di antara kunjungan yang menarik baginya.

Sementara itu, informasi awal mengenai arkeologi di Sulawesi Selatan diperoleh dari dua naturalis dan etnolog bersaudara asal Swiss: Karl Friedrich Sarasin (1859-1942) dan Paul Benedict Sarasin(1856-1929). Mereka me-lakukan ekspedisi ilmiah di Sulawesi Selatan tentang suku Toala, yang mereka anggap berkaitan dengan suku Wedda di India.

Mereka pertama kali datang ke Maros pada 1895, dan disusul kunjungan kedua pada 1902 dengan mengunjungi Leang-leang dan air terjun Bantimurung. Kisah petua-langan bersaudara ini tertuang dalam buku dua jilid Reisen in Celebes: Ausgefuhrt in Den Jahren 1893-1896 1/72^1902-1903.
Kemudian, arkeolog Belanda Hen-drik Robbert van Heekeren (1902-1974) meneliti beberapa gua di Sulawesi Selatan pada 1936-1937. Di antaranya Leang Karassa dan Leang Saripa di Maros. Salah satu temuan eskavasinya: Maros point atau lan-cipan Maros, sebuah mata panah dari batu seukuran satu sentimeter. Mata panah bergerigi ini diikatkan pada ujung galah kayu, dan diguna-kan untuk berburu.

Monumen alam air terjun Bantimurung

Pada 1915, Marinus Cornelius Piepers (1836 -1919), ahli entomologi Belanda menulis surat kepada Sijfert Hendrik Koorders (1863-1919). Kutipan suratnya: "Air terjun Bantimurung dikelilingi hutan yang khas, tidak ditemukan di tempat lain di Hindia Belanda. Kekayaan kupu-kupunya luar biasa bertebaran di tepi pasir di bawah air terjun."

"Seperti yang disebutkan Wallace, dan juga Ribbe, ribuan kupu-kupu unik di Sulawesi ini berkumpul di perbatasan antara , wilayah lndo-Malaya dan Australia-Malaya. Sangat disayangkan jika ini punah. Oleh karena itu, saya ingin mengajak Anda untuk menyelamatkannya".

Koorders sebagai ketua dan pendiri Perkumpulan Perlindungan, Alam Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbes-cherming). Bisa dibilang, ia pelopor konservasi alam di Indonesia. Se-dangkan Carl Ribbe (1860-1934) adalah seorang penjelajah dan ahli entomologi Jerman.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 18 Februari 1919 No.6, Staatsblad 1919 No. 90, (Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch Indie van 21 Februari 1919 No. 6, Staatsblad 1919 No. 90. Natuurmonumenten Aanwijzing van terrainen als natuurmonumenten), air terjun Bantimurung ditunjuk sebagai monumen alam "Natuur-monument Bantimoeroeng Waterval" seluas 10 hektare.

Untuk mengenang Monumen Alam Bantimurung, Salomon Leef-mans (1884-1954) ahli entomologi Belanda menulis kisah penelitian-nya di kawasan ini. "Hal yang menarik adalah banyak kupu-kupu beterbangan dari jenis Papilionidae, Pieridae, Lycaenidae, Nymphalidae, dan Saturniidae. Pada kunjungan pertama saya pada April 1924, kupu-kupu warna-warni bak awan, ter-bang dari hamparan pasir. Namun, pada kunjungan kedua dan ketiga, kupu-kupu sedikit langka.

Kunjungan kedua April 1925, saya berjumpa jenis Papilionidae yang berlimpah, yaitu Papilio androcles, P. sataspes, danf! milon. Mereka pertama kali hadir di gundukan pasir yang lembap karena hujan semalam, berjemur di bawah sinar matahari pagi," tulisnya dalam Herinneringen Aan Het Natuurmonument Bantimoeroeng Bij Makassar dalam berkala Tropische Natuur, Volume 16,1927. Leefmans dan H. H. Van Zon mengusulkan kepada Perkumpulan Perlindungan Alam untuk menata Monumen Alam Air Terjun Bantimurung. Usulan itu mereka sampaikan dalam rapat yang digelar 15 April 1927. Saat itu, perkumpulan ini merupakan pengelola Monumen Alam Air Terjun Bantimurung. Usulan tentang pemberlakuan tiket dan persentase dari penjualannya untuk mandor itu disetujui Perkumpulan.

Pada 1937, pemerintah Hindia Belanda merespons perjuangan Perkumpulan tersebut dengan membentuk badan resmi "Natuur Bescherming afseling Ven's Lands Flantatuin." Tujuannya untuk mengawasi monumen alam yang telah ditunjuk pemerintah kolonial.
Sekitar Januari 1929, Pangeran Leopold III dari Belgia (1901-1983) bersama permaisuri Putri Astrid dari Swedia (1905-1935) berkun-jung ke air terjun Bantimurung. Menyusuri sungai, masuk ke gua, dan danau di atas air terjun. Menikmati makan siang, dijamu seorang koki dari Societeit De Harmonie. Pasangan itu menik-mati air terjun Bantimurung seharian.

Beberapa minggu kemudian, pada 27 Maret 1929 Royal Mail Ship (RMS) Franconia merapat di pelabuhan Makassar yang mem-bawa 400 wisatawan manca-negara. Selanjutnya dijemput sekitar 100 mobil, separuh wisatawan mengunjungi Bantimurung, sebagian lainnya berkeliling kota Makassar. Ini adalah pertama kali berlabuh kapal pesiar besar di pelabuhan Makassar, dan air terjun Bantimurung dikunjungi wisatawan mancanegara.
Dua tahun kemudian, Stem Ship Resolute, Hamburg America Line berlabuh di Makassar pada 10 Maret 1931. Sekitar 90 penumpangnya berwisata ke air terjun Bantimurung dengan 35 mobil yang ditemani 10 pemandu.

Buku panduan wisata Gids van Makassar En Zuid-Celebes tahun 1938 menyarankan untuk mengunjungi Bantimurung pada musim kemarau. Pengunjung air terjun membayar biaya masuk
15 sen per orang. Jika seseorang ingin menggunakan kolam renang dikenakan 0,25 gulden.

Air Terjun Bantimurung sejak dulu menjadi primadona wisata alam Sulawesi Selatan. Pada 1981, kawasan ini berubah fungsi menjadi Taman Wisata Bantimurung seluas 18 hektare. Selanjutnya, sejak 2004, bersama kawasan hutan Bulusaraung, Bantimurung menjadi taman nasional dengan visi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung menjadi destinasi ekowisata karst dunia.

Postingan Populer