Pulau Run Memiliki Pemandangan Alam yang berkelas

Di sana! Perkebunan pala ada di atas sana," seru seorang warga perkampungan Run bernama Jul (35) menunjuk ke puncak bukit. sebelumnya dalam pikiran saya, perkebunan pala itu terletak di pinggir pantai. Ternyata membutuhkan sedikit pendakian untuk mencapainya.

Tadi dari kejauhan, kami sudah melihat Jul mengaso dengan dua-tiga orang warga lain di atas tanggul pantai di bawah lindungan daun nyiur. Ada beberapa anak-anak bermain di sekitar mereka. Ketika kapal motor yang saya tumpangi berlabuh pada dermaga kecil di pinggir pantai yang berkarang, Jul berdiri mengambil posisi siap menyambut. Mereka semua tersenyum.

Bersama rekannya Idris (38), Jul menunjuk tangga kayu yang bersandar di dinding tanggul agar kami bisa masuk ke dalam kampung itu. Saya dan beberapa rekan menurut saja arahan Jul. Sepertinya Jul memang sudah beberapa kali menyambut tamu dari luar kota seperti kami.
Setelah menjelaskan bahwa kami ingin melihat perkebunan pala, Jul dan Idris saling menatap memberi aba satu sama lain untuk menjelaskan. "Ada dua jalur menuju ke sana," kata Idris yang akhirnya mengalah. Ada satu jalur yang bisa ditempuh dengan sepeda motor tetapi harus mengelilingi
setengah pulau. Satu lagi, jalur cepat dengan berjalan kaki tetapi mendaki perbukitan.

"Tapi jalannya tidak licin kan, Pak?" tanya saya pada Jul mengkhawatirkan sepatu yang saya kenakan sama sekali tidak cocok untuk mendaki. Soalnya, kami bam saja island hopping di pulau-pulau lain sekitaran Banda, saya tidak menyangka menuju kebun harus mendaki.
"Tidak, saya saja hanya menggunakan sandal jepit," katanya tersenyum.

"Ayo anak-anak, temani tamu dari Jakarta!" serunya pada beberapa anak-anak di situ. Tetapi hanya seorang anak saja yang mengikut. Kami pun berangkat.

Tidak ada SMA

Sepanjang perjalanan saya mencoba mengobrol dengan anak tadi. Saya menanyakan namanya, tetapi karena ia berjalan cepat-cepat saya tidak begitu mendengar jelas yang dikatakannya. Walau sudah beberapa kali disebutkannya nama, saya tetap sulit untuk mengingatnya. Mungkin dia sedikit malu-malu, karena baru pertama kali bertemu.

Ketika harus melewati tanjakan yang licin, anak itu membantu saya. Saya agak ragu menjangkau tangan-nya ketika harus mendaki medan yang lumayan curam berhubung postur tubuhnya jauh lebih kecil dari saya. Tetapi ternyata ia kuat  juga. Ia juga menebas rumput-rumput liar di depan kami sehingga membentuk jalan setapakyang lebih leluasa.

"Kamu kelas berapa dan sekolah di mana?" tanya saya pada anak itu.
"Kelas lima di SD di balik pulau situ/' jawabnya menunjuk arah berlawanan dari tujuan kami.
Jul menjelaskan, sekolah di Run masih sampai jenjang SMP saja. Kalau ingin melanjutkan ke SMA, zarus pergi ke Neira, sekitar 31 km inri Run. Saya bisa menebak waktu
tempuhnya dengan menggunakan perahu motor, karena tadi kami berangkat dari Neira. Kira-kira 1,5 jam jika laut dalam keadaan kondusif. Menurut Idris, ada masa di mana mereka tidak bisa menye-berang ke Neira dengan perahu motor yang kecil karena kondisi cuaca. Yaitu pada bulan Juni-Agustus dan Desember-Februari.

Itulah sebabnya, apabila ada anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan di Neira setidaknya harus memiliki sanak saudara untuk ditumpangi di sana. Kalau tidak begitu atau sekiranya tidak mampu, anak-anak itu terpaksa putus sekolah.

Ya, Pulau Run masih seterpencil itu. Letaknya 203 km dari Ambon, bis'a ditempuh sekitar 6-7 jam dengan kapal motor. Di Run, kita tidak menemukan mobil. Yang bersepeda motor pun terhitung jari. Run yang berpenduduk sekitar seribu orang ini juga belum memiliki akses kesehatan yang memadai. Kabarnya di sana hanya ada seorang bidan dan perawat. Jika sakit berat, harus dirujuk ke kota seperti Banda Neira. Kalau lebih parah lagi, harus dibawa ke Ambon. Sungguh membuat prihatin. 
"Masih jauh?" tanya saya pada Jul.
"Tidak, sebelum sampai mari saya tunjukkan bekas gudang pala yang dibangun oleh Inggris," jawab Jul.
Sebenarnya gudang yang dimak-sud Jul sudah tinggal kerangkanya saja. Tampak tiang-tiang tinggi menjulang menopang atap yang sudah berlubang. Kira-kira 6-7 meter. Kemungkinan besar, Kongsi Dagang Inggris yang membangun gudang ini menjadikan tempat ini sebagai pengolahan buah pala sebelum dijual. Kami melihat-lihat bekas gudang itu sebentar.
Menurut cerita Idris, kedatang-an kami untuk melihat perkebunan
pala saat itu tidak begitu beruntung. Berhubung ternyata hasil kebun baru saja dipanen. Dia bercerita, tahun lalu hasil panen pala melim-pah ruah. Sayangnya tahun ini, tak mencapai setengahnya dari panen tahun lalu. Karena itu, kata Jul, banyak juga warga yang beralih mengerjakan hal lain seperti membuat kopra, ikan asin, dan menangkap ikan di laut.
Benar saja, setibanya di perkebunan pala di puncak bukit, hanya pohon pala dengan daun dan buah-nya yang hijau yang kami temui. Buahnya saru dengan warna daun sehingga pohon pala terlihat seperti pohon-pohon biasa. Tetapi tidak mengapa, setidaknya saya sudah melihat langsung perkebunan yang dulunya menjadi primadona rebutan bangsa asing.

Terkenal dan ditukar

Menurut beberapa literatur, Pulau Run adalah wilayah yang paling banyak dibicarakan dunia dulu. Semuanya berkat kekayaan rempah khususnya pala dan fuli yang dimiliki pulau ini. Perdagangan rempah memang menjadi komoditas utama yang paling menguntungkan pada abad ke-17. Buah pala dijadikan bahan pengawet makanan yang rupanya bemilai lebih mahal dari logam mulia.

Hampir semua masyarakat Kepulauan Banda menyambut kedatangan bangsa-bangsa asing untuk membeli pala. Jual beli pala mengharumkan nama Run di kalangan pedagang dunia. Sayangnya, kesera-kahan Belanda pada masa itu mem-buat mereka ingin menguasai sendiri harta rempah itu.

Inilah juga yang membikin Belanda berkhianat pada sekutunya, ya-itu Inggris. Untuk urusan pala, Belanda tidak mau kalah saing. Hal ini terbukti dengan banyaknya benteng pertahanan yang dibangun Belanda di kepulauan Banda pada masa itu karena takut daerah kekuasaannya diserang. Di Banda Neira yang begitu kecil saja, mereka membangun 12 benteng.

Berebut rempah ini sangat serius sehingga meletuskan dua kali perang antara Inggris dan Belanda dari tahun 1652-1667. Solusi perda-maian kemudian ditempuh yaitu dengan mengeluarkan Traktat Breda atau Perjanjian Breda. Dengan perjanjian bahwa Inggris akan menyerahkan sepenuhnya Pulau Run pada Belanda, sebagai gantinya sebuah wilayah di Amerika Utara bernama Nieuw Amsterdam (sekarang Manhattan, New wYork) diberikan kepada Inggris.

Lebih dari 350 tahun berlalu, pertukaran spektakuler yang pernah terjadi itu rupanya tidak sespektakuler masa depan kedua wilayah tersebut. Manhattan saat ini menjadi kota besar tempat bisnis-bisnis top berkembang. Sedangkan Run, seperti yang saya sudah lihat sendiri, kejayaannya seolah berhenti di tempat.

Perlahan Run ditinggalkan dan dilupakan. Saya pun, kalau tidak sedang berkunjung ke Maluku, tidak pernah tahu mengenai Run sebelumnya. Ya, pulau yang dulunya dipentingkan dan dihargai banyak bangsa itu mengalami perjalanan kehidupan yang suram.

Saya sedang berandai-andai bagaimana jadinya jika Run juga sesukses Manhattan hari ini ketika Jul dan Idris mulai menjelaskan mengenai perjanjian Breda pada kami. Dalam rangkaian pesta Banda tahun 2017 lalu, digelar acara meriah untuk memperingati perjanjian Breda. Namun sayang, kemeriahannya justru paling terasa di Banda Neira. Nasib Run tetap sama, agak ketinggalan dibanding pulau-pulau tetangganya.

Kami menyusuri perkebunan layaknya berjalan-jalan di taman. Jul dan Idris memberikan penje-lasan atas pertanyaan apapun yang saya tanyakan. Dengan sabar mereka juga memberi tahu mengenai tanaman-tanaman khas lain yang asing bagi saya. Untuk kategori guide dadakan, mereka sangat informatif dan telaten.

Perkampungan rapi

Setelah menikmati jalan-jalan sore di perkebunan pala, kami berjalan menuruni bukit menuju perkampungan kembali. Memilih jalan yang belum dilewati agar melihat kejutan-kejutan lain yang ditawarkan Run.

Benar saja, saya agak takjub. Untuk pertama kalinya saya melihat sebuah perkampungan yang benar-benar tertata rapi dan bersih. Saya tidak tahu ide siapa, tetapi semua rumah penduduk di kampung ini dicat dengan warna yang cerah. Hijau, biru, kuning, oranye, dan warna cerah lainnya. Rumahnya kecil-kecil, tipe rumah kotak yang luasnya mungkin tidak sampai 100 meter.
Di tengah jalan yang tidak diaspal namun sudah disemen, kita akan menemukan jemuran pala, bunga pala, kopra, dan ikan yang diasin-kan. Jul pamer bahwa ikan asin dari Pulau Run rasanya sangat lezat.
Mereka yang berpapasan di jalan dengan kami, tersenyum ramah, dan mengucapkan salam. Kami sempat berhenti di beberapa rumah untuk beramah tamah dan bertukar cerita.
Tepat di tengah-tengah kampung, berdiri megah sebuah Masjid yang dicat warna kuning cerah. Ukuran-nya hanya lebih besar sedikit dari rumah-rumah di sekitarnya. Di depannya, terdapat kantor lurah de-ngan sebuah tugu peringatan perjanjian Breda. Jul dan Idris menjelaskan soal pertukaran Run dan Manhattan sekali lagi pada kami.

Hampir semua pintu rumah penduduk terbuka sore itu. Entah ini bagian kebiasaan orang-orang di kampung atau memang karena alasan lain saya tidak tahu. Anak-anak bermain pasir di bawah pohon kelapa. Tertarik, kami pun memutuskan bergabung bersama mereka sambil melepas lelah.

Jul langsung sigap memanjat pohon kelapa dan memetik beberapa butir kelapa sejumlah orang yang ada di situ. Idris bertugas mengupas kelapa dan memberikannya pada kami satu persatu.

Air kelapa langsung melepas dahaga, maklum baru berjalan lumayan jauh dan cuaca panas juga. Sekitar empat anak meminta kami untuk memotret mereka, katanya agar masuk TV. Kami mengiyakan dan mengambil foto mereka dengan latar belakang laut lepas Banda.

"Kamar mandinya tidak ada lampu ya?" tanya seorang teman perempuan saya sekembalinya ia berganti baju sebab rencananya kami akan snorkeling setelah ini. Jul, Idris, dan beberapa warga di situ tertawa mendengarnya.

Mereka mengatakan bahwa listrik memang tidak menyala 24 jam di pulau Run. Sama seperti pulau-pulau kecil dan terpencil lainnya, Run masih menggunakan pembangkit listrik tenaga surya. Setidaknya itu membantu mereka tersambung listrik pukul 18.00 hingga pukul 23.00. Pantas saja hampir semua pintu dan jendela rumah terbuka tengah hari.

Sebelum pamit dan melanjutkan kegiatan snorkeling, Jul dan kawan-kawan mengantarkan kami ke tangga tanggul. Warga lain juga melambaikan tangan perpisahan pada kami. Saya terharu dengan keramahan mereka, sembari ber-harap semoga keadaan yang lebih baik segera menghampiri Run.


Alam yang berkelas

"Wah, aku harus ke Run, ini bucket list-ku sebelum mati!" ujar seorang teman ketika kuunggah foto lepas pantai Run yang seolah menyatu de-ngan birunya langit di Instagram. Ya, dia betul, semua orang perlu datang melihat betapa cantiknya tempat ini. Di pinggir pantai yang airnya super jernih, kita bisa melihat langsung terumbu karang dan ikan-ikan kecil.

Sepanjang pendakian menuju perkebunan pala, saya tidak berharap melihat pemandangan cantik dari atas bukit. Tetapi ternyata, oh indah-nya! Lelah saya mendaki dengan sepatu berbahan jelly, terbayar dengan pemandangan yang sungguh keren. Rumah-rumah penduduk yang sederhana terlihat rapi dari atas bukit, kapal-kapal nelayan berjejer mengikuti garis pantai, awan-awan kapas memantul di air laut.
Pemandangan alam yang berkelas ini memang agak tidak sinkron dengan keadaan ekonomi dan kehidupan di Run. Tetapi saya begitu bangga bahwa Indonesia memiliki pulau secantik ini. Semoga akan ada perhatian lebih bagi pulau-pulau kecil seperti Run.
Akan sangat disayangkan kalau orang-orang tidak mengenal pulau Run dan menjejakkan kaki di sini. Rasanya enam jam mengelilingi pulau kecil ini masih sangat tidak cukup. Semoga ada kesempatan untuk kembali lagi.

Postingan Populer